Pada setiap tanggal 1 Desember, sebagian masyarakat Papua selalu memperingati tanggal tersebut sebagai tanggal kemerdekaan Papua dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada 1 Desember 1961. Namun, ketika integrasi wilayah Papua masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), tanggal tersebut seakan dihapuskan sebagai bentuk penghilangan sejarah yang masih kabur hingga saat ini.
Begitu halnya ketika Pemerintah Orde Baru pada tanggal 7 Desember 1975 melakukan invasi terhadap Timor Timur dengan alasan anti-kolonialisme di timur Pulau Timor tersebut, hingga pernah menjadi bagian dari salah satu provinsi di Indonesia sampai ketika Reformasi berhasil membuka angin segar kepada rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memisahkan diri dari Indonesia.
Permasalahan Papua bukan hanya kepada bagaimana pandangan masyarakat Indonesia lainnya dalam menyikapi perbedaan ras yang cukup kontras terlihat, tetapi bagaimana penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Bumi Cenderawasih tersebut hingga menemukan titik terang yang akan mendamaikan Jakarta dengan kelompok yang mendukung diadakannya referendum untuk kedua kalinya.
Ketika Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 23 Agustus 1949 dengan diadakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda yang berlangsung hingga 2 November 1949, peristiwa itu menandakan bahwa Kolonialisme Belanda di Indonesia sudah resmi berakhir dan Indonesia menjadi sebuah negara berdaulat yang mempunyai kekuasaan penuh atas wilayahnya.
Namun, Kerajaan Belanda tidak mengakui hak Indonesia atas Papua, ketika itu Menteri Wilayah Seberang Laut Belanda, Mr. Van Maarseveen menyatakan bahwa wilayah barat Pulau Papua bukan merupakan bagian dari Indonesia dikarenakan secara etnis maupun kultural berbeda dengan wilayah Indonesia di barat dan tengah Indonesia.
Salah satu alasan mengapa Kerajaan Belanda tidak menyerahkan Papua menjadi bagian dari Indonesia dikarenakan penduduk asli Papua tidak memiliki kesamaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Berbagai perundingan yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Belanda selalu menemui titik buntu soal penyelesaian atas Papua Barat, baik Indonesia maupun Belanda sama-sama menginginkan Papua Barat menjadi bagian dari wilayahnya.
Papua Menjadi Bagian dari NKRI
Melalui keputusan Presiden Nomor 1/1962, Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala untuk merebut Papua Barat dari Belanda, dalam operasi militer ini, Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk menjadi komando operasi militer pembebasan Papua.
Operasi militer pembebasan Papua membuat Belanda tertekan hingga akhirnya bersedia berunding dan hasilnya, pada 15 Agustus 1962, disepakatinya Perjanjian New York yang hasilnya Belanda menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA)
Sampai akhirnya pada tanggal 2 Agustus 1969, Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dilaksanakan untuk menentukan apakah Papua Barat bersedia bergabung dengan NKRI atau memilih merdeka, hasil dari diadakannya PEPERA tersebut menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Papua memilih untuk bergabung dengan Indonesia.
Keabsahan hasil pemilihan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Papua masih menjadi persoalan hingga sekarang, apakah benar-benar ingin menjadi bagian dari Indonesia menurut hati nuraninya atau dikarenakan oleh para pemilih dalam referendum tersebut yang sudah dipilih sebelumnya.
Sebagian masyarakat Papua sekarang berpendapat bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang dilakukan tahun 1969 tidak melalui sistem demokratis yang secara langsung melibatkan semua masyarakat Papua itu sendiri, tetapi hanya diikuti oleh 1.025 orang masyarakat asli Papua pada referendum tahun 1969 tersebut.
Namun, integrasi Papua ke dalam Indonesia mendapatkan pengakuan oleh dunia internasional dan secara resmi Papua masuk ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga sekarang.
Kekuatan Asing dalam Integrasi Papua-Indonesia
Geopolitik Indonesia yang semakin dekat dengan Uni Soviet, mendapatkan perhatian khusus dari Amerika Serikat yang pada saat itu pun sedang melakukan Perang dingin dengan Uni Soviet. Kedekatan Soekarno dengan paham beraliran kiri seperti Komunisme turut menjadi pertimbangan Amerika agar Indonesia tidak jatuh ke tangan Blok Timur.
Pada tahun 1960 di bulan Januari, Presiden Nikita Khrushchev berkunjung ke Jakarta untuk memberikan kredit sebesar 250 juta dolar AS kepada Indonesia, disusul Moskow yang juga memberikan pinjaman sebesar 450 juta dolar AS kepada Indonesia (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2008:558).
Hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat dibuktikan dengan berkunjungnya Presiden Soekarno ke Amerika Serikat pada tanggal 24 April 1961 yang disambut langsung oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, John F. Kennady di Washington DC. Alih-alih sebagai upaya Amerika Serikat agar menjauhi pengaruh Uni Soviet dengan Ideologinya dari Indonesia, Amerika Serikat bersedia membantu Indonesia dalam konflik Indonesia-Belanda atas Papua Barat.
Dari sini Amerika Serikat menekan Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke dalam NKRI.
Di Bawah Bendera Merah Putih di Papua
Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang hasilnya menyatakan bahwa masyarakat Papua memilih bergabung dengan Indonesia mengakhiri konflik antara Indonesia-Belanda atas Papua Barat. Begitu juga secara resmi Provinsi Papua terbentuk di bawah pemerintahan pusat di Jakarta.
Namun, berbagai konflik seperti kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan, diskrimasi rasial terhadap penduduk asli Papua yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia yang tidak memahami arti pentingnya perbedaan turut menjadi sebab mengapa masyarakat Papua saat ini menginginkan diadakannya referendum untuk kedua kalinya secara demokratis melibatkan penduduk asli Papua tanpa adanya intimidasi dari Pemerintahan Indonesia.
Masyarakat Papua beranggapan bahwa Indonesia hanya mengeruk sumber daya alam mereka yang kaya tanpa pernah memperhatikan bagaimana kehidupan mereka di tanah yang kaya tersebut. Berbagai konflik dengan aparat keamanan dengan penduduk asli Papua yang sering terjadi.
Dikutip dari media Tirto.id, Dalam artikelnya “Kedudukan Orang Papua dalam Perjanjian New York” yang ditulis oleh Beni Pakage dalam situs Suara Papua, 14 Agustus 2016 menyatakan bahwa “Amerika telah turut bermain sebagai pihak pertama dalam kasus New York Agreement 15 Agustus 1962 untuk kepentingannya. Baik demi kepentingan melawan masuknya Indonesia dalam jaringan Soviet, maupun untuk penguasaan kekayaan alam Papua melalui Indonesia.”
Kendati berbagai konflik terus terjadi di Bumi Cenderwasih, Pemerintah Indonesia melakukan pedekatan dengan dibangunnya berbagai infrastruktur sebagai upaya hadirnya negara di pelosok negeri termasuk di Papua. Berbagai infrastruktur tersebut di antaranya dibangunnya jalan trans Papua hingga memberikan keluasan wewenang Provinsi Papua dengan diterbitkannya Daerah Otonomi Khusus Papua.
Dibalik pesatnya pembangunan Papua yang diinstruksikan oleh Jakarta sebagai sebuah pencapaian pemerataan pembangunan dari Sabang sampai Merauke, masyarakat asli Papua belum merasakan berbagai kebebasan mereka atas tanahnya sendiri, berbagai perusahaan besar mendirikan berbagai perkebunan di tanah mereka dengan dalih sudah mendapat izin dari Jakarta.
Berbagai konflik di Papua tidak akan pernah terselesaikan apabila tidak adanya bentuk upaya dari pihak yang berkonflik dalam menyelesaikannya, perlu adanya pendekatan yang mengarah pada adanya kesepakatan bukan hanya diselesaikan dengan acungan senjata yang pada suatu saat nanti menjadi bom waktu yang akan meledak tanpa diduga.
Setiap tahunnya, masyarakat pro kemerdekaan Papua selalu memperingati tanggal 1 Desember sebagai hari lahirnya bangsa Papua walaupun dengan tekanan dari Pemerintah Indonesia yang melarang berbagai agenda yang mengarah kepada makar pada tanggal tersebut.
Perlu mendapatkan perhatian lebih jikalau berbagai konflik di Papua terus terjadi tanpa adanya penyelesain, Papua akan terus menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan dari Indonesia bukan hanya menjadi sekadar ucapan belaka yang selalu digaungkan Jakarta.
Artikel ini tidak untuk menyinggung siapa pun, hanya sebagai coretan pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan, untuk informasi lebih lanjut klik di sini atau klik Pedoman Media Siber
Makasih
ReplyDelete