Otsus Dalam Jeratan Penolakan

06 December 2020 : 11:01 AM

0 komentar

Melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang dilakukan pada tahun 1969, Papua telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, sejak berbagai perundingan yang dilakukan Indonesia-Belanda menemukan titik buntu hingga pada akhrinya integrasi Papua ke Indonesia dapat diwujudkan dengan sistem Penentuan Pendapat Rakyat yang diikuti oleh perwakilan-perwakilan masyarakat asli Papua.

Hingga kini, Papua menjadi salah satu daerah yang menyandang status ononomi khusus dari pemerintah pusat sebagai bentuk dukungan Jakarta terhadap eksistensi penduduk asli Papua yang mempunyai keunikan tersendiri secara etnik maupun kultural yang berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Tapi apakah berjalannya hak otonomi khusus yang diberikan Jakarta kepada Papua dapat dirasakan oleh semua penduduk asli Papua itu sendiri, setelah dua puluh tahun Provinsi Papua dan Papua Barat menyandang status otonomi khusus dari Jakarta, perlu adanya evaluasi dari semua pihak apakah berjalannya otonomi khusus ini sudah sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat Papua asli.

Pertanyaan-pertanyaan seperti, mengapa masyarakat Papua ngotot memisahkan diri dari Indonesia padahal Jakarta sudah memberikan kewenangan luas kepada kedua provinsi itu dengan dibentuknya suatu aturan yang dinamakan otonomi khusus itu, mengapa hingga saat ini setelah dua puluh tahun Otsus hadir di tanah Papua mengapa banyak saja masyarakat Papua yang menginginkan diadakannya referendum untuk kedua kalinya.

Berbagai pembangungan yang terus digenjot oleh pemerintah pusat seperti pembangunan Trans Papua yang menghubungkan seluruh wilayah Papua yang masih terisolasi dari dunia luar tidak menyurutkan masyarakat Papua untuk merdeka sepenuhnya dari kolonialisme Indonesia seperti yang diutarakan oleh sebagian masyarakat Papua.

Tindakan intimidasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dibatasi dalam menyuarakan berbagai tuntutan kepada Jakarta, isu diskrimasi rasial yang banyak dialami oleh masyarakat Papua menjadi tuntutan yang menyebabkan masyarakat Papua menginginkan diadakannya referendum untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Bahkan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang sebetulnya sudah tertuang dalam UUD 1945 sebagai bentuk aspirasi masyarakat bagi masyarakat Papua bisa menjadi bumerang yang dapat mengantarkan mereka kepada dinginnya malam di penjara dengan alasan sebagai tindakan makar pada negara.

Setelah dua puluh tahun berjalannya Otsus di tanah Papua, Jakarta menginginkan diadakannya Otsus untuk kedua kalinya di tanah Papua sebagai upaya mempercepat pembangunan di tanah Papua atau untuk meminimalisasikan hal yang tak terduga seperti keluarnya Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Ketika Jakarta menginginkan adanya Otsus jilid dua, sikap sebagian masyarakat Papua terhadap rencana Otsus jilid dua mengalami penolakan agar Otsus tidak perlu lagi dilanjutkan karena tidak memberikan manfaat yang lebih pada masyarakat Papua. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa Otsus merupakan produk gagal yang diberikan Jakarta kepada Papua.

Seperti yang dikutip dari Suara Papua, sudah lebih dari 102 organisasi yang menyatakan menolak Otsus dengan alasan bahwa berbagai konflik yang terjadi di tanah Papua tidak terselesaikan dengan adanya Otsus jilid I, dengan alasan tersebut, masyarakat Papua beranggapan bahwa tidak perlu adanya Otsus jilid II sebagai jalan dalam menyelesaikan berbagai konflik di tanah Papua.

Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa jalan terbaik yang aman, damai, dan demokratis adalah "kembalinya kepada rakyat West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. seperti yang dikutip dari Suara Papua dengan judul artikel "Sudah 102 Organisasi Nyatakan Sikap Dukung Petisi Rakyat Papua Tolak Otsus" (https://suarapapua.com/2020/11/27/sudah-102-organisasi-nyatakan-sikap-dukung-petisi-rakyat-papua-tolak-otsus/)

Berjalannya Otsus jilid I yang akan berakhir pada tahun 2021 mendatang memberikan banyak manfaat seperti pembangunan Trans Papua yang terus digenjot pembangunannya, sarana dan prasarana yang semakin memadai begitu juga kualitas pendidikan yang sedikit lebih baik dari sebelumnya.

Namun, dengan berbagai keberhasilan pembangunan yang semakin pesat di Bumi Cenderawasih tersebut, berbagai konflik yang terus terjadi di Papua tidak turut diselesaikan oleh Jakarta sebagai upaya sebuah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berbagai konflik seperti kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua menjadi sorotan tajam dunia internasional dan menjadi pertanyaan seberapa seriusnya Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua tersebut.

Seperti kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Panaian, Dogiyai, Tolikara, Timika dan kasus pelanggaran lainnya yang terjadi di tanah Papua yang tidak kunjung menemui titik terang dan masalah kemanusiaan yang tak henti-hentinya terjadi.

Isu rasisme terhadap masyarakat asli Papua yang terus saja terjadi baik di luar Papua maupun yang terjadi di dalam Papua turut menjadi alasan mengapa masyarakat Papua mendesak diadakannya referendum.

Perkataan serta tindakan yang dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia yang mengarah kepada tindakan rasisme pada berbagai bidang, seperti politik, budaya, agama, dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi perasaan sakit hati yang harus diterima masyarakat asli Papua.

Pemerataan pembangunan yang belum maksimal di daerah pegunungan tengah Papua serta kemiskinan yang tampak hingga saat ini menjadi salah satu alasan mengapa mereka menolak Otsus jilid II karena setelah dua puluh tahun Otsus berjalan, hanya sedikit masyarakat Papua yang keluar dari jurang kemiskinan, sisanya masih hidup di bawah kemiskinan.

Jakarta hanya memanfaatkan sumber daya alam di Papua sebagai sumber penghasil devisa terbesar, berbagai perusahaan asing banyak yang mengeruk serta melakukan tindakan yang tidak mencerminkan penghormatan atas tanah penduduk asli Papua yang sekarang hanya dinikmati keuntungannya oleh asing.

Tidak hanya dari pemerataan pembangunan melainkan dari kegagalan pembangunan pendidikan, kesehatan, serta ekonomi yang tidak semuanya dapat dirasakan secara langsung oleh penduduk asli Papua.

Perlu adanya aspirasi masyarakat Papua dalam menentukan apakah Otsus jilid II ini menjadi salah satu jawaban dari semua permasalah konflik serta pembangunan di Papua itu sendiri, melibatkan suara masyarakat Papua dan dengarkan apa yang mereka inginkan sebenarnya.

Share this Article
< Previous Article
Next Article >

0 komentar :

Copyright © 2021 Pintar Ips - All Rights Reserved
Version 2.1