Setelah Ir. Soekarno memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, alih-alih rakyat Indonesia membantu pemerintah untuk menuntaskan berbagai masalah pasca kemerdekaan yang dilakukan oleh Belanda yang ingin menguasai kembali tanah jajahannya, beberapa wilayah di Indonesia melakukan berbagai pemberontakkan dan memilih jalannya sendiri yaitu menjadi sebuah negara yang merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, salah satunya Maluku.
Berdirinya Maluku Selatan
Berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) bermula ketika mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur (Bagian dari Republik Indonesia Serikat), Mr. Dr. Christian Robert Soumokil memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950. hal ini merupakan penolakan atas berdirinya NKRI kembali ke bentuk negara kesatuan setelah banyak daerah di Indonesia memilih untuk membentuk negara kesatuan kembali.
Dengan membentuk Republik Maluku Selatan, Soumokil mencoba untuk melepaskan maluku dari pengaruh Jakarta atas wilayahnya, berdirinya RMS juga langsung menimbulkan ancaman bagi keutuhan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Tindakan pertama yang dilakukan pemerintah terhadap berdirinya RMS adalah dikirimnya Dr. J. Leimana untuk menyampaikan permintaan damai sekaligus meminta kembali untuk bergabung dengan NKRI, karena pimpinan RMS menolak ajakan pemerintah Indonesia untuk bergabung kembali, pemerintah Indonesia pun memutuskan untuk melaksanakan ekspedisi militer untuk menumpas kelompok berdirinya Maluku Selatan.
Dalam ekspedisi militer tersebut, Kolonel A. E. Kawilarang menjadi pimpinan dalam melaksanakan tugas untuk menghentikan pemberontakan yang dilakukan oleh Soumokil begitu juga dengan para anggotanya. Ia adalah adalah panglima perang tentara dan teritorium Indonesia Timur yang dirasa mengerti dan paham bagaimana kondisi Indonesia di wilayah timur.
Pada awal November 1950, Kota Ambon berhasil dikuasai oleh militer Indonesia. Namun, Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur dalam melakukan perebutan Benteng Nieuw Victoria. Dengan berhasilnya Kota Ambon dikuasai oleh tentara Indonesia, tidak menyurutkan semangat perjuangan kelompok berdirinya Republik Maluku Selatan.
Perjuangan gerilya masih terus dilakukan walaupun dengan skala yang lebih kecil di Pulau Seram hingga tahun 1963, pada tanggal 12 Desember 1963, Soumokil akhirnya dapat ditangkap dan dijatuhi hukuman mati setelah putusan Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta menjatuhinya hukuman mati.
Setelah pemberontakan yang dilakukan oleh Soumokil berhasil dihentikan oleh Pemerintah Indonesia, RMS mengungsi hingga akhirnya membuat pemerintah sementara dalam pengasingan di Belanda.
Pemerintahan Sementara dalam Pengasingan
Hingga saat ini RMS membentuk pemerintahan sementara yang berkedudukan di Belanda untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Maluku Selatan dari Indonesia, walaupun tidak seperti penyerangan dengan moncong senjata, saat ini generasi penerus tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan seperti yang dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Namun, pemerintahan Maluku Selatan hingga saat ini terus eksis dengan John Wattilete menjadi presiden kelima Republik Maluku Selatan. Terasingnya mereka dari Maluku turut menjadi faktor mengapa perjuangan mereka dalam membentuk sebuah negara merdeka tidak kunjung terwujud.
Bagaimana Masyarakat Maluku Memandang RMS
Saat ini masyarakat Maluku tidak terlalu berambisi untuk melakukan pemberontakan kembali seperti yang dilakukan kelompok Soumokil dalam memperjuangkan kemerdekaan Maluku Selatan dari NKRI. Mereka lebih memilih untuk menjadi bagian dari Indonesia.
Namun, beberapa peristiwa turut menjadi bukti bahwa sebagian kecil masyarakat Maluku menginginkan adanya kemerdekaan atas tanah mereka, seperti kasus pengibaran bendera benang raja yang dilakukan oleh delapan orang pada tanggal 25 April 2020.
Begitu juga isu kemerdekaan Maluku tidak seperti isu Papua serta Aceh yang disorot media internasional dengan alasan pelanggaran HAM, Maluku diam dalam penantiannya.
0 komentar :